Jadi Orang yang Bertepuk Tangan



Kisah ini saya sadur dari salah satu perempuan kecil yang saya sendiri tak pernah tahu siapakah dia.

Jadi awalnya, saya mgenal anak ini dengan panggilan si 23, bukan karena lahir pada tanggal 23 dan bukan juga anak ke-23. Ternyata bocah lucu ini dipanggil dengan sebuatan tersebut karena sejak kelas 1 hingga kelas 6 SD hasil rapotnya selalu urutan ke-23, tidak kurang, tidak lebih.

Anak ini tumbuh di keluarga  yang harmonis, keluarga yang penuh suka cita, ibunya seorang ahli gizi dan ayahnya seorang dokter. Meskipun begitu, anak ini tak pernah berfikir untuk bercita-cita menjadi bagian dari pekerjaan orangtuanya. Ia tumbuh dengan sangat baik, penuh tanggung jawab dan lebih cepat dewasa. Kian hari juga permainan game, hp, ataupun yang berbau anak kecil sudah mulai ditinggalkan.

Hingga pada saat pembagian rapot semester 1 kelas 6, Ibunya mendapat kabar yang tak berubah, ya dia mendapat peringkat 23 lagi. Padahal sejak kelas 4 dia sudah belajar mati-matian, dari les private sampai harus menambah jadwal belajarnya di tempat les. Namun sayang tak berubah, tetap dia mendapatkan hasil yang tidak memuaskan orangtuanya.

Ibunya yang selalu memperhatikannya pun menyadari bahwa nilai bukan segala-galanya, karena anaknya yang mungil itu sudah menjadi pribadi yang hebat, mampu melakukannya sendiri, bersikap sopan kepada orangtua, bahkan mau ikut membantu memasak dan mencuci, padahal mereka hidup dalam berkecukupan.

Pernah suatu saat ada acara kumpul keluarga, dimana keluarga besar ayahnya yang kebanyakan seorang praktisi hebat saling memamerkan anak-anaknya. Tak jauh, setiap anak-anak harus menyebutkan cita-cita yang ingin digapai, seperti pilot, polisi, presiden, dokter, arsitek, dan lainnya. Namun untuk si-23 ini, sayang di sayang, dia dengan kalemnya mengatakan bahwa ingin menjadi guru TK, ingin membahagiakan anak-anak kecil sebagaimana ayahnya yang membahagiakan pasiennya.

Tentu  dengan jawaban tersebut keluarga besarnya ingin lebih dari sekedar itu, akhirnya diberi kesempatan kedua, namun tetap dia memilih hal yang berbeda dari kebanyakan, ingin jadi Ibu rumah tangga untuk membahagiakan anaknya. Tersentuh hati ibunya si-23 hingga memeluk dan menggenggam tangannya yang lembut.

Akhirnya dipenghujung kelas 6, sang guru memberikan voting kecil-kecilan dikelasnya agar berkesan selama bersekolah di SD yang hasilnya akan diumumkan pada pembagian rapot. Waktu itu pun tiba, Ibu dan ayahnya si-23 datang ke sekolah dengan hasil yang sama, ya urutan ke-23. Tapi tunggu dulu, ada informasi yang lebih penting, yakni untuk teman terbaik di kelas semua teman-temannya menunjuk si 23 menjadi teman sekaligus sahabat terbaik.

Ternyata selama bersekolah, dia sering membantu teman-temannya, sering memberikan pertolongan yang tulus, berteman dengan siapa saja, bahkan memberikan makanannya untuk temannya yang lapar. Air mata ibu mengalir perlahan, dan berkata "Suatu saat kamu akan jadi pahlawan nak." Namun sepertinya si kecil tidak setuju dengan membalas perkataan ibunya "Ibu guru pernah mengatakan pepatah, ketika seorang pahlawan yang lewat harus ada yang bertepuk tangan di pinggir jalan, bu dan aku tidak ingin jadi pahlawan, aku ingin jadi orang yang bertepuk tangan di pinggir jalan itu." Seketika perasaan Ibu terasa hangat, dalam hatinya seperti ada senyawa yang hidup harmonis, beriringan merdu.

Hidup, ya itulah hidup, mungkin memaksakan anak menjadi yang terbaik dalam nilai bukanlah indikator paling penting, bukan kah akar yang berjuang menembus tanah yang padat hingga membawa yang terbaik untuk si pohon tak pernah terlihat. Salahkan anak kita yang ingin menjadi orang biasa namun ternyata memiliki peran sangat penting dalam kehidupan orang lain. RUgikah kita memiliki anak yang biasa namun memiliki harga yang tak pernah ternilai, yakni kejujuran dan murah hati. si-23 yang cantik itu pun hanya tersenyum melihat ibunya yang terharu karenanya.

Semoga pembaca mendapatkan empati dan pelajaran dari cerita diatas. Sesungguhnya hidup itu bukanlah sekedar nilai, sekedar gaji, ataupun sekedar besarnya rumah, namun hidup itu adalah sebagaimana kita bisa bermurah hati memberikan yang terbaik untuk orang lain tanpa ada yang tahu. 

Rasulullah saw bersabda,’Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Thabrani dan Daruquthni)

Selalu Senyum,
Freddy Yakob 

Postingan Populer